1 — Platform Puisi antara Metafora Maritim dan Metafora Industri
“Wovon man nicht sprechen kann, darueber muss man schweigen.” — Ludwig Wittgenstein
Puisi kini bisa dipergunakan menjadi instrumen untuk merespons dunia visual dan lingkaran verba. Dengan kata lain, puisi telah mengalami proses pelonggaran dari definisi-definisi terdahulu. Hal tersebut terjadi karena beberapa variabel yang tidak bisa diberi ruang tafsir yang tunggal, terpisah, dan seolah tidak memiliki keterkaitan satu sama lain.
Kata puisi — baik sebagai bunyi atau susunan huruf, dengan segala definisinya yang sulit dipadukan, belum mengalami perubahan sejak zaman dahulu kala. Tetapi, mengamati perubahan bentuk, pengungkapan, dan tema puisi dari tahun ke tahun, dari generasi ke generasi, tentu saja kita bersepakat bahwa puisi mengalami banyak pembaharuan yang dilakukan oleh penyair itu sendiri.
***
Semua orang yang menulis puisi dapat disebut sebagai penyair, tetapi, apakah penyair yang lahir pada masa pra-internet akan melihat dunia yang sama dengan penyair yang lahir pasca-internet? Lalu bagaimana pandangan penyair yang lahir di antara kedua masa itu? Sayangnya, dunia puisi tidak bisa diramal seperti cuaca yang akan memburuk yang ditunjukkan melalui gejala alam dan aplikasi pada gawai kita masing-masing. Sebab dunia puisi adalah respons atas masyarakat yang terus berubah, suatu dunia yang penuh dinamika dan konsep tentang segala sesuatu yang mewakili zaman yang berbeda.
Bagaimana perubahan metafora dalam persajakan di Indonesia? Sebagai misal, akan dikutip sajak yang ditulis tahun 1966 oleh Goenawan Mohamad dan M. Aan Mansyur yang menulis sajak tahun 2015. Apakah kita akan menjumpai metafora yang sama atau dengan tajam metafora terasa berbeda.
Di Beranda ini Angin tak Kedengaran Lagi
Di beranda ini angin tak kedengaran lagi
Langit terlepas. Ruang menunggu malam hari
Kau berkata: pergilah sebelum malam tiba
Kudengar angin mendesak ke arah kita
Di piano bernyanyi baris dari Rubayat
Di luar detik dan kereta telah berangkat
Sebelum bait pertama. Sebelum selesai kata
Sebelum hari tahu ke mana lagi akan tiba
Aku pun tahu: sepi kita semula
bersiap kecewa, bersedih tanpa kata-kata
Pohon-pohon pun berbagi dingin di luar jendela
mengekalkan yang esok mungkin tak ada
Memimpikan Hari Libur
Bunga-bunga di beranda tertawa melihat orang-orang melintas
membawa kendaraan berlibur ke tempat ramai. Kemacetan,
supermarket, pelabuhan udara, atau pantai. Hujan bergegas pulang
ke langit setelah bekerja keras semalaman.
Di meja ada segelas buah-buahan kedinginan menginginkan
cintamu keluar dari baju tidur. Kau tenggelam di halaman koran
Minggu, membiarkan sejumlah puisi berisi masa depan dan
masa lalu membaca matamu. Kau mengenali puisi-puisi itu. Puisi ini
meniru mataku, katamu sembari mengulang-ulang nama penulisnya.
Namaku.
Astaga! Kau mengagetkan pagi seperti kota membangunkan
kesepian. Koran dan puisiku jatuh menimpa dan menumpahkan
buah-buahan dari gelas yang telah menempuh usia dan perjalanan
jauh demi menjilat lidahmu.
Aku bangun seperti hujan yang pulang ke langit. Kepalaku tidak
berada di tempat yang tepat. Aku berjalan ke kamar mandi
bersama potongan-potongan mimpi. Pikiranku seperti lukisan
Frida Kahlo atau kisah-kisah Italo Calvino. Aku memasukkan diriku
ke dalam hari libur dan harapan bisa menemukan siapa namamu.
Sejak hari itu, aku tidak bisa tidur lagi. Juga kau dan kesepian
barangkali.
Kedua sajak ini dimulai dengan kata beranda pada baris pertamanya. Tetapi, menjadi terang bahwa sajak pertama penuh dengan metafora maritim yang digambarkan penyairnya melalui suasana dan kepuitisan yang diharapkan sampai ke pembaca sebagai rintisan-rintisan perasaan. Sementara sajak kedua penuh dengan metafora yang bukan alam. Itu ditunjukkan penyairnya melalui pengungkapan, tema, dan diksi seperti, kemacetan, supermarket, pelabuhan udara, dan berlibur ke tempat ramai. Apa yang dibicarakan sajak pertama tidak menjadi topik sajak kedua, demikian pula sebaliknya. Tetapi, kita tetap sepakat bahwa keduanya adalah sajak.
Goenawan Mohammad pernah mengapresiasi puisi-puisi Subagio, “Puisi datang pertama kali kepada kita lewat nadanya. Sajak-sajak Subagio adalah sajak nada rendah. Puisinya seolah dicatat dari gumam. Ia ditulis oleh seorang yang tak memberi aksentuasi pada gerak, pada suara keras serta kesibukan di luar dirinya.” Sepertinya apresiasi Goenawan Mohamad itu juga bisa ditujukan untuk puisi-puisinya yang dirangkum dalam Asmaradana. Namun, catatan pengantar Sapardi Djoko Damono pada buku M. Aan Mansyur, Melihat Api Bekerja, cukup terang mengungkapkan bahwa telah terjadi perubahan dasar pada persajakan dan dunia puisi di Indonesia, “Posisi puisi modern sebagai komunikasi dalam perkembangan kesusastraan tampaknya harus dipilah dari genre lain seperti drama dan novel. Namun, ciri yang selama ini membedakannya dari fiksi semakin sulit dikenali kalau kita mendasarkan perbedaan pada ujud visual.”
Pada posisi ini, apakah Sapardi sedang mengoreksi dunia puisi dan persajakan modern Indonesia atau ia sedang berusaha meramal kemungkinan-kemungkinan perkembangan dunia puisi dan persajakan itu sendiri? Mengingat yang ia garis bawahi adalah ujud visual puisi yang tetap berupa larik dan bait.
Lantas bagaimana kita akan menjelaskan metafora dalam sajak-sajak penyair yang lebih muda seperti Adimas Imanuel, Frischa Aswarini, dan Mario F. Lawi? Apakah mereka sedang melakukan pengulangan atau mengupayakan pembaharuan dalam dunia puisi dan persajakan Indonesia?
***
Sejarah persajakan dan puisi di Indonesia dipenuhi oleh metafora maritim. Kita bisa menemukan diksi laut, kapal, pegunungan, pantai, pulau, atau turunan dari diksi tersebut pada banyak metafora yang ditulis hampir seluruh penyair tiap angkatan. Lantas seperti apa metafora industri ini bekerja dalam sajak? Bagaimana bentuknya? Seperti apa bunyinya? Dan deretan pertanyaan lain yang menyertainya.
Saya sadar, ini tidak menjadi tugas wajib dari penyair atau pemerhati persajakan untuk menjawabnya. Tetapi, jika dirasa menjadi penting untuk didiskusikan. Mari! Yang jelas, dimulai dari sekarang dan yang akan datang, penyair yang muncul akan datang dari masyarakat industri. Saya hanya penasaran perkembangan metafora dalam persajakan kita. Meski begitu, bagi saya, barangkali akan lebih kuat sekiranya kedua metafora ini digabungkan.
*berlanjut dalam 2 — Platform Puisi antara Metafora Maritim dan Metafora Industri