Orhan Pamuk, Dusta, dan Puisi
Orang hanya berbohong ketika di sana ada sesuatu yang mereka sangat takut kehilangannya. — Orhan Pamuk, Kebohongan.
Bila dusta dapat disentuh, apakah kau membayangkan diri sedang tertidur dan lengannya yang pendiam memelukmu dengan erat, atau di tengah pertengkaran dengan kekasih, dia datang sebagai ciuman yang menjadi alasanmu menunda kemarahan?
Bila dusta tidak dapat disentuh, apakah kau membiarkannya menghirup udara di dalam ketakutanmu, atau dia adalah udara yang kau hembuskan setelah menahannya sekian masa dan berharap sisa paling intim masih tersembunyi di dada?
Apakah dusta dapat disentuh atau tidak dapat disentuh?
Di mana rumah kekasih yang memiliki pagar di halaman. Pernahkah seseorang di antara kita, mencoba melepaskan diri dari sebuah kesalahan. Bahwa pagar itu adalah batas. Kesorakan dan segala yang riuh dari hidup ini telah melewatinya. Bahkan barangkali ada yang telah masuk hingga ke ruang tamu, merusak kesunyian, dan menyalakan lampu.
Tidak ada cahaya dan sesiapa. Kesalahan adalah kutukan. Kita berada di rumah kekasih yang penuh dusta. Lihatlah buku-buku dalam lemari itu. Mata kita tidak pernah melihat daftar isi. Pikiran kita jauh dari tulisan. Hati kita lebih tipis dari sampul. Sementara semua persoalan dan yang terbelah dari kepala kita berpinak di sana.
Pandanglah wajah-wajah di dinding yang kini dingin dan kaku. Lukisan pahlawan yang di antaranya hanya rekaan. Usaha untuk memandang masa sebelum keabadian semu ada. Mendekatkan sejarah dan kesilaman tetap rapuh dan jauh. Inilah sarang dusta. Kerapuhan!
Pagar adalah monumen ingatan. Garis yang menegasi kerapuhan. Di sini, tidak ada dusta dan segalanya adalah kebenaran. Tapi di rumah kekasih, kau mendapati tubuh-tubuh penuh kemabukan. Monumen itu berdiri telanjang dan seorang gelandangan melemparinya telur dan terigu, serupa perayaan ulang tahun bagi remaja tanggung tanpa beban moral.
Apakah monumen ingatan kita telah tercuri dusta?
Rumah kekasih adalah kota ini. Siapa yang ingin tinggal di tempat penuh dusta? Ketika usaha untuk percaya adalah melihat pohon-pohon ditebang agar negara dapat melebarkan jalan dan membiarkan kecemasan melintas dengan gegabah.
Negara memajang ketakutan di kepala loper koran. Suatu pagi yang suci, dia datang dengan sebuah rencana jangka panjang; obat bius agar dusta dapat berubah menjadi ketakutan. Bacalah. Bacalah. Satu kepala pembaca meledak. Darahnya adalah sumbu bagi kepala lain. Dua kepala meledak. Aliran darahnya adalah negara yang berhasil mengamalkan sila ke lima dan perkataan Zaskia Gotik.
Apakah dusta dapat disentuh atau tidak dapat disentuh?
Saya memandang malam lebih gelap dari sebelum dan biasanya. Kota ini seperti rahang politikus. Tanpa kelengangan dan hal yang benar-benar penting untuk diucapkan. Kepala orang-orang seperti kembang api yang mengadakan cahaya dan suara. Meledak!
Pagi hampir tiba. Benang-benang langit membayang di angkasa. Di Anjungan Losari, kamar tidur di rumah kekasih, saya melihat kerangka baja tumbuh. Penimbunan yang belum selesai kini mulai membatasi — kelak benar-benar menjadi batas, pijakan saya berdiri dan tempat orang-orang menikmati langit yang sama.
Dusta adalah dusta. Tidak penting lagi apakah dapat disentuh atau tidak. Dia mampu merobohkan dan meniadakan monumen ingatan yang bertahun dibangun-dirikan manusia.
Di rumah kekasih yang kini pagarnya tinggal sepatu, ada satu dusta yang membuat hampir seluruh penduduknya percaya, bahwa kota dunia itu ada dan kita sedang merancang rencana ke sana. Kini, siapa yang sungguh bertanya, mengapa negara yang memiliki 17 ribu pulau membentang jauh, masih juga menimbun laut?
Pada akhirnya, saya memilih “…di tengah pertengkaran dengan kekasih, dia datang sebagai ciuman yang menjadi alasanmu menunda kemarahan.” Sebab saya percaya, segala yang tertunda, akan membesar, dan membesar, dan membesar dan meledak juga pada masanya.
Apakah pemerintah kota sedang berdusta tentang penimbunan laut? Apakah mereka takut kehilangan keindahan kota? Dan apakah kau percaya jika saya mengatakan tulisan ini puisi tentang ketakutan saya kehilangan kota? Terima kasih Orhan Pamuk, kau menyadarkan saya makna penting menjadi percaya dan bodoh.
Literasi Tempo, 14/04/2016